MENU

Tuesday, May 12, 2009

ANALISA KULIT SAMAK NABATI

BAB I

PENDAHULUAN


 

1.1 Maksud dan Tujuan

    Dalam praktikum ini bertujuan untuk menentukan kualitas kulit samak nabati (kulit sol), sehingga dapat ditentukan apakah kulit tersebut telah sesuai dengan SNI atau tidak. Dari hasil pemeriksaan dapat dikemukakan melalui hasil kualitatif maupun kuatitatif, sehingga dapat dijadikan evaluasi dalam kesalahan-kesalahan proses penyamakan kulit tersebut. Singkatnya, analisa ini bertujuan sebagai kontrol dasar penyamakan kulit serta pencegahan kerusakan-kerusakan kulit yang mungkin saja bisa terjadi akibat perlakuan yang salah dalam pengolahan kulit tersebut.


 

1.2 Dasar Teori

    a. Sekilas tentang penyamakan Nabati

        Kulit merupakan salah satu bagian dari makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan. Di zaman modern sekarang ini kulit hewan banyak dimanfaatkan sebagai produk kerajinan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Produk-produk yang menggunakan bahan kulit diantaranya adalah sepatu, ikat pinggang, tas, sarung tangan golf, dsb.

Tentunya bahan kulit yang berasal dari hewan tersebut tidak bisa begitu saja kita manfaatkan, karena hal ini harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu,proses ini yang dinamakan penyamakan kulit. Penyamakan kulit pada dasarnya adalah proses pengubahan struktur kulit mentah yang mudah rusak oleh aktifitas mikro organisme, kimiawi atau fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan lama. Mekanisme ini pada prinsipnya adalah pemasukan bahan-bahan tertentu kedalam jalinan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit.

Apabila bahan kulit hewan tersebut sudah stabil atau sudah disamak, maka barulah bahan kulit tersebut dapat dimanfaatkan. Proses penyamakan bahan kulit hewan tersebut memerlukan 3 tahapan, yaitu :


 

  1. Beam house operation
  2. Tanning operation
  3. Finishing operation

Harus diingat bahwa kulit merupakan bahan organik yang akan disamak, dan mempunyai sifat-sifat yang masih amat sensitif terhadap beberapa jenis kemikalia serta mikroorganisme, selam berlangsungnya proses penyamakan.

Untuk memperoleh hasil kulit tersemak yang sesuai, seperti yang diharapakan, maka pengontrolan selama proses berjalan harus dilakukan secara teliti dan terus menerus, agar dapat selalu disesuaikan dengan kondisi dan ketentuan yang diwajibakan untuk masing-masing penyamakan, seperti yang akan diuraikan dibawah ini, misalnya pengontrolan pH, kepekatan cairan, uji setelah proses berlangsung (tiap-tiap proses mengalami caran uji yang berbeda dengan proses lainnya, selama proses berlangsung). Dan dengan pengontrolan yang terus-menerus, kerusakan karena kelalaian dan kecerobohan dapat dihindarkan.

Bahan Penyamak Nabati

Tannin adalah subtansi pahit yang terdapat dalam babakan, buah kacang-kacanga, daun, akar atau biji. Dipakai untuk mengubah kulit hewan mentah menjadi kulit samak. Karena hal tersebut dari tumbuh-tumbuhan, maka dinamakan bahan penyamak nabati. Sumber bahan penyamak ini bermacam-macam sehingga akan berbeda-beda pula dalam kekuatan dan sifat, warna konsentrasi dan kualitasnya. Jadi hasil kulitnya pun sangat berbeda, bahkan diperuntukan penyamak berbagai macam kulit, antara lain kulit yang keras empuk, warna tetap atau terang, berat dan ringan. Tannin tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri atau secara berbagai kombinasi untuk memperoleh berbagai efek.

Kulit yang disamak nabati umumnya berwarna coklat muda atau kemerahan sesuai dengan warna bahan penyamaknya. Ketahanan fisiknya terhadap panas kurang baik dibandingkan dengan kulit yang disamak khrom walaupun lebih baik dibandingkan dengan kulit yang disamak dengan minyak atau formaldehid. Kulitnya agak kaku, tetapi empuk, cocok untuk digunakan sebagai bahan dasar ikat pinggang, tas terutama yang pengerjaannya dengan tangan.

Bahan penyamak nabati ialah bahan penyamak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung bahan penyamak dapat diketahui:

  • Rasanya sepet,bila dirasakan dengan lidah
  • Warnanya akan menjadi hitam bila bersinggungan dengan besi


 

  • Bahan penyamak ini dapat dihasilkan dari :
  1. Babakan (kulit)     : akasia, sagawe, tungguli, bako2, mahoni, pilang dll
  2. Kayu            : Quebraco,eiken, mahoni,dll
  3. Daun            : sumoch,gambir,the, dll
  4. Buah            : pinang, manggis, sabut kelapa, valonea, divi2, dll


     

Kulit Sol

Kulit sol adalah kulit yang diperoleh dari penyamakan kulit sapi dengan menggunakan bahan penyamak nabati. Kulit sol digunakan sebagai lapisan bawah pada sepatu sehingga kulit tersebut harus keras. Dalam pengujian kulit sol perlu dilakukan pengujian secara organoleptis, fisis dan kimiawi untuk mengetahui kualitas dari kulit sol tersebut.

    Kulit Sol adalah kulit jadi, matang dari bahan baku kulit sapi yang disamak nabati, atau dikombinasikan krom nabati, umumnya digunakan sebagai bawahan sepatu, insole, maupun Out sole. Penggunaannya dalam sepau antara lain untuk : pengeras muka dan belakang, penguat tengah, sol luar, pengisi telapak kaki muka, pita, sol dalam, sol tengah, lapis hak.

Dalam penyamakan kulit sol, bahan baku yang kita gunakan akan mempengaruhu kulitasi kulit hasil samakan kita. Untuk itu kita perlu membahas tentang bahan baku dan bahan pewnyamak yang digunakan dalam proses penyamakan kulit sol.

Suda kita ketahui sebelumnya bahwa kulit sol merupakan kulit yang berasa dari penyamakan kulit sapi. Pada hewan sapi faktor jenis bangsa lebih besar pengaruhnya terhadap kulit dibandingkan dengan umurnya. Kulit sapi perah umumnya mempunyai rajah lebih halus dari pada kulit sapi tipe daging pada umur yang sama. Kulit sapi Brahmana mempunyai kelas yang sangat menonjol, hal ini menurunkan nilai kulitnya dibandingkan dengan jenis bangsa yang tidak berkelas.

    Kulit "Pedet" (anak sapi) mempunyai ciri-ciri yang sama dengan sapi dewasa tetapi sruktur kulitnya dalam keadaan lebih halus. Pada hewan sapi faktor umur lebih besar pengaruhnya terhadap kulit dibandingkan dengan jenis bangsanya. Pengaruh jenis bangsa tidak tampak pada saat "Pedet" sampai umurnya mencapai dewasa.

    Semakin tua hewan , akan semakin banyak bekas-bekas luka karena pukulan, guratan cap bakar, parasit. Hewan betina mempunyai rajah yang lebih halus dibandingkan hewan jantan. Hewan jantan pada umumnya mempunyai bobot rata-rata lebih berat dan daya tahan renggang yang lebih besar.

Pada kulit sapi goresan pada rajah yang tidak terlalu dapat diperbaiki dengan penanganan secara mekanik, umumnya Buffing (pengamplasan) kulit disebut "corrected grain" (Purnomo,1984).

Menurut Djoyo Widagdo (1980), pembagian kelas menurut kualitas (mutu) dari kulit sapi adalah sebagai berikut:

  1. Kualitas 1 atau prime
  2. Kualitas 2 atau Intermediet
  3. Kualitas 3 atau Second
  4. Kualitas 4 atau Third
  5. Kualitas akhir atau Rejek


     

    Analisa Kulit tersamak

  • Cara pengambilan contoh kulit

    Contoh kulit diambil secara acak dari jumlah lembar kulit dalam satu (1) tanding (bisa dalam side / lembar utuh)

    Tabel 6. Jumlah contoh kulit dan syarat lulus uji organoleptis

No

Jml kulit dalam satu tanding

Contoh kulit yang diambil

Jml yang memenuhi syarat

Lulus uji

Tidak lulus uji

1

2

3

4

5

6

7

8

9

s/d 50

51 - 150

151 - 280

281 - 500

501 - 1200

1201 - 3200

3201 - 10.000

10.001 - 35.000

35.001 - <

5

20

32

50

80

125

200

315

500

0

1

2

3

5

7

10

14

21

1

2

3

4

6

8

11

15

22

Kelas A, B, C kerusakan = 10%, 15%, 25%


 

Tabel 7. Jumlah contoh kulit untuk uji kimiawi dan fisis

No. Urut

Jml kulit dala satu tanding

Contoh kulit yang diambil

1

2

3

4

s/d 50

51 - 500

501 - 3200

3201 - <

2

3

5

8


 


 


 

  • Syarat Lulus Uji (SNI-0642-1989)

    Satu tanding dinyatakan lulus uji / diterima apabila: hasil uji contoh kulit secara organoleptis, fisi, dan chemis memenuhi persyaratan yang ditentukan.

    • Lulus kelas A jika organoleptis kerusakan 10%
    • Lulus kelas B jika organoleptis kerusakan 15%
    • Lulus kelas C jika organoleptis kerusakan 25%

    Satu tanding dinyatakan tidak lulus uji / ditolak apabila hasil uji, secara organoleptis, fisis dan chemis tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.


     

  • Cara pengambilan contoh kulit (SNI-0642-1980)

    Setelah kita mendapatkan contoh kulit dari populasi kulit jadi tertentu (satu tanding), contoh kulit segera dipersiapkan untuk dipotong menjadi contoh uji (cuplikan), sesuai dengan jenis pengujiannya.

    Untuk pengujian kimiawi kulit, diambil dari semua bagian, bagian Krupon (K), bagian Leher (L), bagian Perut (P), untuk pengujian fisis dari bagian Krupon saja.


     


     


     

    Gambar 1. Gambar Pengambilan Contoh Uji

    Cara Kerja:

    • Gambarlah satu side dari kulit besar.
    • Tentukan bagian K, P dan L seperti gambar.
      • Bagian Krupon (K) dari pangkal ekor kearah leher dengan jarak 12,5 cm, dari garis punggung ke bawah dengan jarak 5 cm.

            Luas bagian krupon = 20 cm X 20 cm

      • Bagian perut diambil dari tengah-tengah bagian perut.

            L:uas bagian perut = 7,5 cm X 5 cm

      • Bagian leher diambil dari tengah-tengah bagian leher.

        Luas bagian leher = 7,5 cm X 5 cm

    Jika dianggap perlu, maka contoh dapat diperluas.

    Menurut SII-0019-70 / SNI 06-0235-1989, kulit sol sapi adalahkulit matang berasal dari kulit sapi yang disamak dengan zat penyamak nabati dan umumnya digunakan untuk sol pada pembuatan sepatu.

    Tabel 5. Syarat Mutu Kimiawi Kulit Sol Sapi

No

Uraian

Satuan

Persyaratan

1

Kadar air

%

Maksimum 18

2

3

Kadar abu jumlah

Kadar zat larut dalam air

%
%

Maksimum 2,5

Maksimum 10

4

Kadar minyak / lemak

%

Maksimum 2,0

5

Derajat penyamakan

%

60 - 95

6

pH

%

untuk pH 3,5 – 4,5 bila diencerkan 10 kali selisish pH maksimum 0,7


 

b. Jenis-Jenis Analisa Kulit Samak Nabati    

Pada dasarnya analisa kualitas nabati dapat ditentukan melalui 3 jenis analisa yang meliputi:

  1. Secara organoleptis
  2. Secara kimiawi
  3. Secara fisis


 

  1. Secara organoleptis

    Pemeriksaan secara oragnoleptis merupakan jenis pemeriksaan kulit samak dengan menggunakan panca indera. Pemeriksaan ini hanya dapat menentukan kualitas kulit secara sepintas, sehingga pemeriksaan ini kurang sempurna. Adapun alat pancaindera yang biasa digunakan dalam pemeriksaan kualitas kulit secara organoleptis adalah mata, perasa, pengecap, dan pencium. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan di pabrik-pabrik kulit pada penyortiran kulit, sebelum dianalisa lebih lanjut.


 

  1. Secara kimiawi

    Pemeriksaan secara kimiawi biasanya dilakukan di laboratorium dan menggunakan alat-alat serta bahan-bahan kimia. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menganalisa kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam proses penyamakan kulit yang dianalisa, sehingga bisa diketahui kandungan-kandungan kimiawi dari kulit tersebut secara spesifik, tergantung analisa yang dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:


     


     

    1. Kadar air

      Uji kadar air ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kandungan air dari kulit tersebut, sehingga kita dapat mengetahui apakah kulit tersamak tersebut kering atau tidak, sebab apabila kandungan airnya berlebihan atau lembab, maka akan mempengaruhi kualitas kulit, sebab kulit tersebut akan menjadi mudah rusak oleh mikroorganisme

    2. Kadar abu

      Analisa kadar abu dilakukan untuk mengetahui kadar zat anorganik yang terkandung dalam kulit samak tersebut. Biasanya zat yang terkandung berupa garam inggris, serta berasal dari bahan-bahan pemberat pada bagian daging yang berupa tanah liat dan lain-lain.

    3. Kadar minyak

      Analisa kadar minyak dilakukan untuk mengetahui kandungan minyak yang ada pada kulit samak. Biasanya minyak yang terkandung dalam kulit tersamak tersebut merupakan minyak yang berasal dari fatliquor. Terlalu banyak kandungan minyaknya menandakan kulit terlalu lemas, dan dapat mudah bercendawan dan mengadakan noda pada nerf, sedangkan apabila terlalu rendah menandakan kulit cepat mengering dan mudah retak dan pecah kalu terkena panas.

    4. Ph kulit tersamak

      Analisa ph kulit tersamak penting dilakukan sebab dalam analisa ini digunakan untuk mengetahui besarnya pH kulit samak tersebut. Jika pH terlalu tinggi biasanya menandakan bahwa dalam proses penyamakan, terutama pada proses netralisasi tiak sempurna.

      Sedangkan jika terlalu rendah menandakan bahwa dalam kulit tersebut terkandung asam-asam bebas organik/ anorganik yang dapat meresap pada kulit pada waktu penyimpanan.

    5. Kadar zat terlarut

      Kadar zat larut perlu dianalisa, sebab untuk menentukan banyaknya tannin yang tidak terikat, atau diisi terlalu banyak dengan benda-benda yang muah terlarut dalam air pada kulit tersamak tersebut. Sedangkan terlalu rendah menandakan bahwa bahan sol tidak diisi dengan bahan ekstrak penyamak.


       


       

    6. Kadar abu tak larut

      Kadar abu tak larut perlu dianalisa sebagai dasar penentuan derajat penyamakan, dalam kadar abu tak larut terkandung unsur-unsur anorganik yang ak bisa larut dalam air.

    7. Derajat penyamakan

      Derajat penyamakan perlu dianalisa, sebab untuk menetukana seberapa masaknya kulit tersebut. Jika derajat penyamak terlalu tinggi menandakan bahwa bahan penyamaknya terlalu tinggi dan menyebabkan kulit masak sempurna, serta baik fiksasinya. Sedangkan terlalu rendah menandakan bahwa kulit belum masak.


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


 

BAB II

UJI ORGANOLEPTIS


 

2.1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:

  1. Alat
  • Gunting
  • Mistar


     

  1. Bahan
  • Kulit sol sapi samak nabati


 

2.2 Langkah kerja

Adapun prosedur yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:

  1. Kulit diamati menurut jenis kulit, kemudian dilakukan pengujian organoleptis secara visual. Meliputi uji kelepasan nerf, keadaan kulit, cat, ketahanan sobek, serta kelentingn.
  2. Kemudian menentukan luas kulit
  3. Menentukan tempat dan ukuran luas kulit pada krupon, leher, dan perut pada lembaran kulit dengan menggunakan penggaris
  4. Contoh kulit dipotong dengan menggunakan pisau satinlen steel, kemudian dipotong menjadi ukuran kecil-kecil
  5. Potongan kulit dicampur sehingga homogen
  6. Ditimabang dengan menggunakan wadah yang bersih
  7. Disimpan dalam tempat dan suhu kamar.


 

2.1.3 Pengamatan

  • Nerf kulit : cacat, warna kulit tidak rata, permukaan kulit tidak teratur
  • Flash kulit : masih banyak sisa daging, Keadaan kulit kaku
  1. Pembahasan

Dari hasil analisa yang kami laakukan menggunakan panca indera (organoleptis), terlihat bahwa nerf kulit sapi tersebut warnannya tidak rata, serta permukaannya juga tidak teratur. Kulit ini banyak memiliki cacat pada beberapa bagian secara acak. Apabila diklasifikasikan menurut pembagian jenis kulit yang dilakukan oleh Djoyowidagdo, (1980) kulit ini merupakan jenis kulit kualitas 4 atau reject, yang dalam hal ini memiliki spesifikasi sebagai berikut:

Kualitas 4    

  1. Kulitnya kosong, strukturnya jelek, kulit lemas, warna layu.
  2. Cacat cukup banyak

Sedangkan apabila dibandingkan dengan (SNI-0642-1989) yang merupakan standar mutu produk kulit sol dari kulit sapi samak nabati, kulit ini merupakan jenis kulit kelas C, alasannya karena kulit ini memiliki cacat ± 25%, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa cacat yang ada pada kulit ini menyebar secara acak, terutama pada bagian nerf dekat leher. Pemotongannya pun tidak rata, sehingga pada saat mendiferensiasikan bagian-bagian pada kulit tersebut kami mengalami kesulitan karena sulitnya dibedakan bagian-bagaiannya, seperti leher, punggung, maupun ekor.

Adapun cacat yang ada pada kulit ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor:

  1. Jenis kulitnya memang sudah rusak dari kulit mentahnya, bisa disebabkan karena proses pengulitan yang tidak benar, maupun cacat pada hsapi tersebut ketika masih hidup.
  2. Karena proses mekanis pada proses penyamakan kulitnya.
  3. Karena formulasi ataupun prosedur penyamakan yang tidak benar.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

UJI KADAR AIR


 

3.1 Alat dan bahan

Alat

  • Gelas arloji
  • Cawan porselin
  • Crush porselin
  • Crush penjepit


 

Bahan

Sampel kulit nabati 5 gr


 

3.2 Prosedur Kerja

  1. Cawan porselin dibersihkan, kemudian cawan dimasukan kedalam oven untuk dikringkan selama 30 menit dengan suhu 105 0c, kemudian didinginkan dalam eksikator selam 10 menit.
  2. Sampel disiapkan dengan cara sampel ditimbang sebanyak 5 gram
  3. Sampel dimasukan kedalam cawan porselin, kemudian ditimbang
  4. Cawan porselin yang berisi sampel dimasukan kedalam oven dengan suhu 102 0 c selama 2 jam
  5. Cawan didinginkan dalam eksikator selama 10 menit, kemudian cawan yang berisi sampel ditimbang
  6. Dilakukan pemanasan berulang hingga diperoleh berat tetap


 

3.3 Hasil dan Perhitungan

Diketahui :

    Berat cawan kering    = 35,9979 gr

    Berat sampel        = 5,0034 gr

    Berat cawan + kulit    = 40, 9813 gr

    Berat kulit akhir     = 40 , 2756 gr


 


 

Ditanyakan : kadar air ...?

    % air = berat kulit awal – berat kulit akhir x 100

berat kulit awal    

= 40,9813 gr – 40,2756 x 100

5,002 gr

         = 14, 10835 %

Jadi kadar air dari sampel kulit sol tersebut adalah sebesar 14,108%


 

3.4 Pembahasan

Cara pengujian yang kami lakukan dalam analisa kadar air ini adalah dengan mengambil sampel kulit tersebut, kemudian memanaskan dalam oven dengan suhu sekitar 102°C selama 2 jam. Adapun kekurangan dari cara pengujian ini antara lain bahan-bahan organik atau gas yang mudah menguap akan ikut menguap sehingga mengurangi ketelitian. Sedangkan ketelitian dipengaruhi oleh ruang pengering., penggerakan udara di dalam pengering, tebal lapisan dan ukuran contoh konstruksi alat dan jumlah bahan seta posisinya dalam alat pengering.

Dari hasil perhitungan yang kami lakukan, kami mendapatkan kadar air dalam sampel kulit sol tersebut adalah sebesar 14,1%. Apabila dibandingkan dengan SNI 06-0235-1989. Kadar air dalam kulit tersebut belum melebihi ambang batas. Dan termasuk baik. Kadar air dalam kulit memepengaruhi kelembaban kulit samak tersebut. Semakin lembab atau banyak kadar airnya, maka kulit tersebut semakin mudah terserang oleh bakteri maupun jamur yang merusak kulit tersebut.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB IV

ANALISA KADAR ABU


 

  1. Alat dan bahan

    Alat

  • Gelas arloji
  • Crush porselin
  • Crush penjepit


     

Bahan

Sampel kulit nabati 3 garam


 

  1. Prosedur kerja
    1. Crus porselin dicuci, kemudian dimasukan kedalam oven selama 30 menit dengan suhu 1050C
    2. Crush porselin didinginkan kedalam eksikator selama 10 menit
    3. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram
    4. Crus porselin ditimbang sebagai berat kosong
    5. Sampel dimasukan ke dalam crush porselin, kemudian ditimbang kembali
    6. Crush porselin yang berisi sampel dimasukan kedalam oven dengan suhu 102 0C selama 2 jam
    7. Cawan didinginkan beserta sampel dalam eksikator selama 10 menit, kemudian ditimbang
    8. Dilakukan pemanasan dan penimbangan berulang-ulang hingga mencapai berat konstan


     

    1. Hasil dan Perhitungan

    Diketahui :

            Berat cawan kosong    = 11,0012

            Berat sampel        = 3,003

            Berat cawan + sampel    = 14,0042

            Berat kulit akhir        = 11,0543


     


     

    Ditanyakan : kadar abu ....?


     

            Kadar abu = berat cawan + sampel – berat cawan kosong x 100

    Berat sampel

                % abu = 14,0042 – 11,0012 x 100

    3,003

                 %abu    = 1,76823 %

Jadi kadar abu total dalam sampel kulit sol tersebut adalah sebesar 1,76823 %


 

  1. Pembahasan

    Dalam praktikum ini, metode yang digunakan dalam penentuan kadar abu, adalah dengan cara memanaskan sampel didalam furnace dengan suhu 750°C hingga menjadi abu. Dengan mengetahui kadar abu total dalam sampel, maka dapat diketahui kadar zat anorganik yang terkandung didalamnya. Dalam pemanasan tersebut, zat-zat organik habis menguap, sedangkan yang tersisa tinggal zat organik, yang diindikasikan sebagai bahan-bahan penyamak yang terkandung dalam kulit tersebut.

    Dari hasil praktikum yang kami lakukan, kami mendapatkan kadar abu dalam sampel sekitar 1,76%. Apabila dibandingkan dengan SNI 06-0235-1989 dimana kadar abu jumlah maksimum yang ada pada kulit sol samak nabati adalah sebesar 2,5%. Dapat dilihat bahwa kadar abu yang terkandung dalam sampel masih dalam ambang batas, sehingga untuk kadar abu sampel memenuhi standar SNI 06-0235-1989.


 


 


 


 


 

BAB V

ANALISA PH KULIT TERSAMAK

  1. Alat Dan Bahan

Alat

  • Pengaduk magnet
  • Ph meter
  • Neraca analitik
  • Gelas arloji
  • Erlenmeyer bersumbat basah
  • Gelas piala

Bahan

  • Kulit sapi samak nabati


 

  1. Prosedur Kerja
    1. Mendidihkan 400 ml air suling, kemudian didinginkan dan ditutup
    2. Contoh uji kulit ditimbang sebanyak 5 gram, lalu dimasukan dalam erlenmeyer bersumbat asa ukuran 125 ml kemudian ditambahkan dengan 100 ml air air suling kemudian larutan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet frekuensi 50 kali selama 4 jam
    3. Larutan di enap tuangkan kedalam gelas beker dan diukur ph nya
    4. Larutan diambil 10 ml dan diencerkan menjadi 10 kalinya dengan aquades dan diukur phnya kembali


 

  1. Hasil pengamatan
    1. Warna larutan

    Warna cairan: Coklat muda

    Setelah diencerkan: bening kekuningan


     

    1. pH larutan

    pH cairan kulit samak nabati

    cairan encer 1 : 10= 4,705

    cairan yang pekat= 3,56

  2. Pembahasan

    Dalam praktikum ini metode yang digunakan untuk mengekstraksi kulit agar diketahui pH nya adalah dengan cara mengaduk kulit sampel yang telah dipotong kecil-kecil dengan menggunakan alat pengaduk otomatis, selama 4 jam. dalam pengadukan ini hanya menggunakan tenaga mekanis, tidak menggunakan panas. Selama pengadukan, cairan yang digunakan untuk melarutkan kulit berangsur-angsur warnanya berubah menjadi kecoklatan bening. Perubahan warna larutan ini mengindikasikan bahwa zat-zat penyamak yang terkandung didalam kulit terlarut dalam air pelarut tersebut. Pengadukan dilakukan selama 4 jam dengan putaran yang konstan, tujuannya agar pelarutan zat-zatnya menjadi sempurna. Setelah itu air yang digunakan untuk melarutkan kulit di saring sisa-sisa kulitnya, kemudian dites pH nya menggunakan alat pH tester. Dalam menggunakan alat ini terlebih dahulu alat ini harus dicelup ke aquades ber pH netral untuk menetralkan pH alat dan membersihkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada alat. Setelah itu alat tersebut digunakan untuk mengetes pH laruatan kulit. Dalam pengetesan ini dilakukan 2 kali pengetsan pH. Yang pertama dilakukan dengan menggunakan cairan pelarut kulit yang belum diencerkan, pada larutan tersebut memeiliki pH sekitar 3,56 sedangkan pada larutan yang telah diencerkan 10 kali, memiliki pH senilai 4,705.

    Apabila dibandingkan dengan SNI 06-0235-1989, dimana pada standar SNI tersebut, pH kulit sol samak nabati sol untuk pH 3,5 – 4,5 bila diencerkan 10 kali selisish pH maksimum 0,7. Terlihat selisih pH antara yang belum diencerkan dan yang sudah diencerkan adalah sebesar 1,145. Nilai ini melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam SNI 06-0235-1989. pH kulit samak nabati ini berada pada suasana asam.


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


 

BAB VI

ANALISA KADAR MINYAK/ LEMAK DALAM KULIT SAMAK NABATI


 

  1. Alat Dan Bahan

Alat

  • Satu set alat sokhlet
  • Oven
  • Desikator
  • Timbangan analitik
  • Gelas arloji
  • Kertas saring

 

Bahan

  • Kulit sapi samak nabati
  • Bahan pelarut organik
  1. Prosedur Kerja
    1. Labu sokhlet dipanaskan dalam oven pada suhu 100 0 C selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang untuk diketahui beratnya
    2. 10 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan selongsong uji lemak dan ditutup dengan kapas
    3. Dimasukan kedalam sokhlet an labu diisi dengan pelarut bezen sebanyak 2/3 volume labu
    4. Diekstrasi dengan 20 kali sirkulasi masing-masing sekitar 15 menit


     

    1. Pengamatan dan perhitungan

      Pada paraktikum pengujian kadar minyak yaitu menggunakan pelarut petrolium eter, petrolium eter adalah pelarut organik dengan titik didih 40-60 0C, berwarna bening,dingin, mudah terbakar serta bau menyengat. Pada kegiatan destilasi, kecepatan untuk satu sirkulasi membutuhkan waktu kurang lebih lima menit, setelah kegiatan ekstrasi selesai, pada labu terbentuk 2 fase yaitu untuk fase atas merupakan pelarut sedangkan untuk fase bawah merupakan larutan minyak dengan jumkah yang cukup sedikit. Untuk warna minyak yang diperoleh adalah kekuning-kuningan. Setelah dioven maka pelarut yang masih bercampur dengan minyak menguap sehingga larutan yang tersisa adalah minyak.

      Hasil Dan Perhitungan

      Diketahui :

           Berat crush kosong         = 42, 193 gram

      Berat crush kosong + minyak

      Berat sampel

      Ditanya = ....?

      Kadar minyak = berat crush kosong + minyak – berat chrus kosong x 100

    berat sampel

    = 42,307 – 42,193 x 100

                    10,009

    = 1,1389 %

    Jadi kadar minyak/ lemak dalam kulit tersamak tersebut adalah sebesar 1,1389 %


     

    6. 9 Pembahasan

    Dalam praktikum ini menggunakaan konsep ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut organik. Adapun bahan pelarut yang digunakan adalah benzene. Alasan penggunaan pelarut ini karena pelarut ini merupakan jenis pelarut non polar yang bisa melarutkan minyak yang ada dalam kulit. Selain itu titik didih benzene sangat rendah dibandingkan dengan air ataupun minyak, sehingga memudahkan nantinya dalam pemisahan antara benzene dengan minyak yang dilarutkannya. Selongsong yang berisi kulit dimasukkan dalam sokhlet yang telah dsambungan dengan pendingin balik an labu godog yang berisi pelarut organik, kemudian dilakukan pemanasan, hingga terjadi 20 kali sirkulasi aliran pelarut. Setelah itu dipisahkan antara pelarut dan minyaknya. Sisa dari pemisahan yang mengandung minyak tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven dan dipanaskan pada suhu 100°C hingga beratnya tetap. Tujuan pemanasan ini adalah untuk menghilangkan sisa-sisa zat pelaruta yang masih terkandung dalam minyak, sehingga nantinya didaptkan berat minyak murni. Adapun dari hasil analisa yang terhadap sampel yang kami lakukan, kadar minyak yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 1,1389.

    Apabila hasil tersebut dibandingkan dengan SNI 06-0235-1989, dimana dalam SNI tersebut ambang batas kadar minyak yang ada dalam kulit samak nabati adalah maksimal 2 %. Maka sampel kulit yang kami analisa kadar minyaknya tidak melebihi ambang batas. Adapun minyak-minyak yang terkandung pada kulit tersebut merupakan minyak dari bahan fatliquor kulit, dan sisanya merupakan sisa dari lemak-lemak yang tak terbuang pada saat proses penyamakan. Terutama proses degreasing.


     

    BAB VII

    KADAR ZAT TERLARUT


     


     

    1. Alat dan Bahan

      Alat

  • Pesawat kooch
  • Panci
  • Erlenmeyer 250 ml 1 buah
  • Labu ukur 100 ml 1 buah
  • Kompor
  • Thermometer
  • Selang
  • Pipa kecil
  • Kurs porselin
  • Neraca analitis

 


 

Bahan

  • Sample kulit samak nabati 9,741 gr


 

  1. Prosedur Kerja
    1. Kulit bekas pemeriksaan uji lemak dikeringkan di udara agar zat terlarut menguap semua
    2. Kulit dimasukan dalam erlenmeyer, lalu dimasukan air suling dengan suhu 45 0c selama 2 jam hingga mendapatkan 1 liter.
    3. Dipipet zat 25 ml dimasukan dalam cawan porselin, kemudian ditimbang
    4. Larutan diuapkan dalam water bath sehingga air menguap
    5. Masukan cawan dalam oven hingga suhu 1000c sampai berat tetap


     

  2. Pengamatan dan perhitungan
  • Pada saat sebelum dimasukkan kedalam erlenmeyer yang tehubung dengan pesawat kooch, kulit berwarna coklat dan cairan/ larutan dalam erelnmeyer dinaikkan suhunya sehingga larutan menjai semakin keruh dan air mengalir melalui pipa yang dihubungkan mellalui selang ke labu ukur. Larutan dalam labu ukur berwarna kuning bening yang menandakan bahwa zat terlarutnya telah larut dalam air dan terekstraksi kedalam labu ukur.
  • Kemudian diambil sebanyak 25 ml dari larutan hasil ekstrakasi yang berasal dari samak nabati tersebut dan direfluks, hingga airnya habis dan berat cawan tetap.
  • Adapun berat cawannya adalah:
    • Cawan kosong= 81,91 gr
    • Cawan kosong + sampel yang telah direfluks= 81,97 gr

Jadi berat kadar zatterlarutnya adalah

(berat cawan kosong + sampel yang direfluks) – berat cawan kosong)= 81,97 gr – 81,91 gr = 0,06gr


 

%zat terlarut =

    =

    = 24,64%


 

Jadi kadar zat terlarut dalam sampel kulit samak nabati tersebut adalah sebesar 24,64%.


 

  1. Pembahasan

Dalam praktikum analisa zat terlarut ini menggunakan konsep ekstraksi menggunakan pesawat kooch, dimana yang diekstraksi adalah zat-zat dalam kulit samak yang bisa larut dalam air. Prinsip kerja dalam ekstraksi ini adalah berdasarkan tekanan, dimana pesawat kooch diletakkan ditempat yang lebih tinggi darai tempat pengekstraksian, kemudian diisi air dan dialirkan melalui selang kecil yang dijaga debit airnya ke dalam erlenmeyer yang tertutup rapat serta dihubungakan ke labu ukur kosong yang berfungsi untuk menampung hasil ekstraksi. Pada saat air mengalir dari pesawat kooch, didalam erlenmeyer terjai tekanan, karena tak ada udara yang bisa keluar atau masuk secara bebas sehingga menyebabkan air yang mengekstraksi dalam kulit mengalir secara perlahan-lahan melalui selang ke labu ukur yang berukuran 1 liter.

Setelah itu diambil 25 ml air hasil ekstraksi, kemudian di refluks hingga kering. Tujuan merefluks cairan ini aalah untuk mengetahui berat kering dari zat terlarut yang terkandung dalam sampel kulit. Dari hasil praktikum tersebut diketahui kadar zat terlarut dalam sampel kulit samak tersebut adalah sebesar 24,64%. Apabila dibandingkan dengan SNI 06-0235-1989 dimana dalam SNI tersebut ambang batas kadar zat terlrut dalam kulit samak nabati adalah sebesar 10%. Dari hal itu terlihat bahwa sampel tersebut terlalu banyak mengandung zat terlarut, sehingga tidak memenuhi baku mutu SNI yang telah ditetapkan. Zat terlarut yang terlalu tinggi ini menandakan banyak tannin yang tidak terikat, atau diisi terlalu banyak dengan benda yang larut dalam air misalnya gula, garam inggris dan sebagainya.


 


 


 


 

BAB VIII

UJI KADAR ABU TAK LARUT


 

8.1 Alat dan bahan

Alat

  • Furnace
  • Cawan porselin
  • Penjepit


 

Bahan

Sampel kulit nabati 3 gr


 


 

8.2 Prosedur Kerja

  1. Mengambil sebanyak 3 gram contoh uji dari sisa pengujian kadar minyak dan zat larut dalam air.
  2. Memasukkan alam kurs porselen yang telah diketahui berat keringnya
  3. Memasukkan kedalam furnace dan dipanaskan hingga 800°C. Selam 2 jam hingga menjadi abu
  4. Menimbang cawan porselen yang berisi abu


 


 


 

8.3 Hasil dan Perhitungan

Diketahui :

    Berat cawan kering    = 35,9979 gr

    Berat sampel        = 3 gram

    Berat abu          = 0,04 gr


 


 


 


 

Ditanyakan : kadar abu tak larut ...?

Kadar abu tak larut =

    = 1,33%


 


 


 

8.4 Pembahasan

Cara pengujian yang kami lakukan dalam analisa kadar abu tak larut adalah dengan cara mengambil sampel kulit hasil pengujian kadar minyak dan zat terlarut. Sampel berwarna hitam pekat, kemudian dimasukkan kedalam furnace dan diabukan dengan suhu 800°C selama 2 jam. adapun tujuan dari analisa kadar abu tak alrut adalah untuk menentukan kandungan zat anorganik yang ada dalam kulit yang tak larut dalam air. Nantinya kadar abu tak larut menjadi dasar penentuan derajat penyamakan.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB IX

ANALISA KADAR NITROGEN


 


 

  1. Alat dan Bahan

    Alat

  • Labu kejhdal
  • Pemanas mentel
  • Gelas arloji
  • Pengaduk kaca
  • Gelas ukur 25 ml


 

Bahan

  • Sample kulit samak nabati 9,741 gr


 

  1. Prosedur Kerja
  1. Menyiapkan contoh kulit sebanyak 0,6 gram kemudian dimasukan dalam labu kejhdal
  2. Ditambahkan 10 gram na sulfat, 20 ml h2so4, beberapa butir cu sulfat, dan beberapa selenium kedalam kejhdal yang berisi kulit
  3. Dilakukan distruksi, yaitu semua bahan dicampur kedalam labu kejhdal kemudian dipanaskan kedalam lemari asam, dengan menggunakan pemanas mantel sampai kelihatan jernih
  4. Dilakukan distilasi
  5. Larutan yang telah jernih dipindahkan kedalam labu distilasi
  6. Kemudian ditambahkan 100 ml aquades dan larutan naoh sampai alkali dan ditambahkan pula larutan indikator pp berlebih
  7. Amoniak ditampung dalam 50 ml h2so4 0,1 n dan ditambahkan indikator mo
  8. Kelebihan dari larutan h2so4 dititrasi dengan naoh 0,1 n


 

  1. Pengamatan dan perhitungan

    Pada saat proses destruksi warna larutan adalah keruh berubah menjadi bening, kemudian pH dinaikan dengan menggunakan larutan NaOH 10 %, indicator PP sehingga berwarna kemerah-merahan. Sedangkan pada proses destilasi, amoniak yang dipanaskan dan ditanggap oleh larutan asam sulfat yang telah ditambahi indicator MO sehingga berwarna biru kemerah-merahan. Dan pH larutan adalah 6.

    Pada proses titarsi, menggunakan larutan titran NaOH 0,1 N, larutan titrat merupakan sample dititrasi hingga berwarna bening

Perhitungan

diketahui    :

volume titeran sample    : 157,5 ml

volume titran blanko    : 385,7 ml

ditanyakan    :

kadar tanin terikat ….?

Jawab

  • % N = ( volume blanko – V sample )NaOH x N NaOH x 14 x 100% / berat sample

    % N = ( 228,2 ) x 0,183 x 14 / 600,49 x 100%

    %N = 97,3618%

  • Kadar zat kulit mentah

    = 5,62 x % N

    = 5,62 x 97,3618

    = 547,17%

  • Tannin terikat

    = 100% - ( kadar air + kadar minyak + kadar zat terlarut + kadar abu tak larut + zat kulit mentah )

    = 100% - ( 14,10835 + 1,1389 + 24,64 + 1,33% + 547,17 )

    =-488,38


 

  1. Pembahasan

Dalam praktikum penentuan kadar Nitrogen dalam kulit samak ini dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:

1) Proses destruksi

Pada tahap ini, sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi penguraian menjadi unsur-unsurnya yaitu unsur-unsur C, H, O, N, S, dan P. Dalam pemansan ini menggunakan Katalisator yang berfungsi untuk mempercepat proses destruksi dengan menaikkan titik didih asam sulfat. Katalisator N terdiri dari campuran NaSO4 + CuSO4 dengan perbandingan 20 : 1. Tiap 1 gram NaSO4 dapat menaikan titih didih 3 0C. Karena titik didih tinggi maka asam sulfat akan membutuhkan waktu yang lama untuk menguap.

Kontak asam sulfat dengan sampel akan lebih lama sehingga proses destruksi akan berjalan lebih efektif. Setelah ditambah katalisator N, sampel dimasukkan dalam labu khyedal kemudian ditambah dengan 35 ml H2SO4 pekat. H2SO4 pekat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan dari adanya N. Asam sulfat yang bersifat oksidator kuat akan mendestruksi sampel menjadi unsur-unsurnya. Penambahan asam sulfat dilakukan dalam lemari asam untuk menghindari S yang berada di dalam protein terurai menjadi SO2 yang sangat berbahaya. Setelah penambahan asam sulfat larutan menjadi keruh.

Labu khyedal yang berisi sampel kemudian ditutup dan dipanaskan. Pemanasan yang terjadi mengakibatkan reaksi berjalan lebih cepat. Sampel didestruksi hingga larutan berwarna jernih yang mengindikasikan bahwa proses destruksi telah selesai. Selama destruksi, akan terjadi reaksi sebagai berikut :

(CHON) + On + H2SO4     CO2 + H2O + (NH4)2SO4

                    (Rr. Wirastuti. dkk . 2006)


 

Proses destruksi dapat dikatakan selesai apabila larutan berwarna jernih. Larutan yang jernih menunjukkan bahwa semua partikel padat bahan telah terdestruksi menjadi bentuk partikel yang larut tanpa ada partikel padat yang tersisa. Larutan jernih yang telah mengandung senyawa (NH4)2SO4 ini kemudian didinginkan supaya suhu sampel sama dengan suhu luar sehingga penambahan perlakuan lain pada proses berikutnya dapat memperoleh hasil yang diinginkan karena reaksi yang sebelumnya sudah usai.

2) Proses Destilasi

Larutan sampel jernih yang telah dingin kemudian ditambah dengan aquadest untuk melarutkan sampel hasil destruksi agar hasil destruksi dapat didestilasi dengan sempurna serta untuk lebih memudahkan proses analisa karena hasil destruksi melekat pada tabung reaksi besar. Kemudian larutan sampel didestilasi dengan alat destilator. Pada dasarnya tujuan destilasi adalah memisahkan zat yang diinginkan, yaitu dengan memecah amonium sulfat menjadi amonia (NH3) dengan menambah 20 ml NaOH kemudian dipanaskan. Prinsip destilasi adalah memisahkan cairan atau larutan berdasarkan perbedaan titik didih. Fungsi penambahan NaOH adalah untuk memberikan suasana basa karena reaksi tidak dapat berlangsung dalam keadaan asam.

Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan oleh pemanas dalam labu kjehdal. Selain itu sifat NaOH yang apabila ditambah dengan aquadest menghasilkan panas, meski energinya tidak terlalu besar jika dibandingkan pemanasan dari alat destilator, ikut memberikan masukan energi pada proses destilasi. Panas tinggi yang ada dalam labu kjehdal juga berasal dari reaksi antara NaOH dengan (NH4)2SO4 yang merupakan reaksi yang sangat eksoterm sehingga energinya sangat tinggi. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dipakai dalam percobaan ini adalah asam klorida. Asam standar yang dapat dipakai adalah HCl 0,1N dalam jumlah yang berlebihan.

Larutan sampel yang telah terdestruksi dalam labu khyedal, kemudian alat destilasi berupa pipa kecil panjang dimasukkan ke dalamnya hingga hampir mencapai dasar tabung reaksi sehingga diharapkan proses destilasi akan berjalan maksimal (sempurna). Gelas beker yang berisi 75 ml asam klorida + metil oren ditempatkan di bagian kanan alat destilasi. Metil oren merupakan indikator yang hanya bisa bereaksi pada suasana asam. Indikator ini digunakan untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebih. Selain itu alasan pemilihan indikator ini adalah karena memiliki trayek pH 3,1 – 4,4. Pada suasana asam indikator akan berwarna merah muda, Asam klorida (HCl) berfungsi sebagai penangkap NH3 sebagai destilat berupa gas yang bersifat basa. Supaya ammonia dapat ditangkap secara maksimal, maka sebaiknya ujung alat destilasi ini tercelup semua ke dalam larutan asam standar sehingga dapat ditentukan jumlah protein kandungan N. Selama proses destilasi lama-kelamaan volume larutan HCl akan bertamabah, ini dikarenakan larutan HCl menangkap NH3 dari proses distilasi

Reaksi yang terjadi :

(NH4)SO4 + NaOH        Na2SO4 + 2 NH4OH

2NH4OH        2NH3 + 2H2O

4NH3 + 2HCl 2(NH4)2Cl +H2

                 (Rr. Wirastuti. dkk . 2006)


 

Reaksi destilasi akan berakhir bila ammonia yang telah terdestilasi sudah habis, yang ditandai dengan larutan yang didistilat memercik atu meletup didalam labu khyedal. Setelah destilasi selesai larutan sampel berwarna keruh dan terdapat endapan di dasar tabung ) dan larutan asam dalam erlenmeyer bertambah volumenya. Ammonia yang terbentuk selama destilasi dapat ditangkap sebagai destilat setelah diembunkan (kondensasi) oleh pendingin balik di bagian belakang alat Kjeltec dan dialirkan ke dalam gelas beker yang berisi larutan asam standar.


 

  1. Tahap titrasi

    Titrasi merupakan tahap akhir dari seluruh metode Kjeldahl pada penentuan kadar N pada sampekl kulit. Dengan melakukan titrasi, dapat diketahui banyaknya asam klorida yang bereaksi dengan ammonia.

    Untuk tahap titrasi, destilat dititrasi dengan NaOH yang telah distandarisasi (telah disiapkan) sebelumnya. Normalitas yang diperoleh dari hasil standarisasi adalah 0,1N. Ambil larutan HCl yang mengandung NH3 10ml ditambah indikator PP kemudian dititrasi dengan NaOH, hingga titik ekuivalen yang ditandai dengan berubahnya warna larutan merah bening menjadi bening tak berwarna karena adanya NaOH berlebih yang menyebabkan suasana netral atau asam. Melalui titrasi ini, dapat diketahui kandungan N dalam bentuk NH4 sehingga kandungan N pada sampel dapat diketahui melalui perhitungan.

    Sebagai
    pembanding, maka kami membuat blanko, dimana proses pembuatan blanko ini sama dengan proses anaisa sampel, hanya saja tidak memakai sampel kulit, hanya memakai aquades saja. Pada penentuan blanko, terutama pada saat titrasi, terjadi kesalahan prosedur, sehingga mengakibatkan hasil error. Hasil titrasi blanko terlalu besar bandingkan dengan hasil titrasi pada sampel sehingga hasilnya terlalu besar, yaitu mencapai 97%.

    Karena kesalahan itulah, terjadi pula kesalahan dalam penentuan derajat penyamakan, sehingga menyebabkan derajat penyamakan untuk sampel kulit yang kami analisa menjadi minus, yaitu sebesar -488,38. Derajat penyamakan ini tidak bisa dibandingkan dengan SNI kulit tersebut, karena hasilnya tidak valid.


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     

    BAB X

    KESIMPULAN


     

    Dari hasil praktikum dan analisa yang kami lakukan terhadap sampel kulit sol, kami berkesimpulasn sebagai berikut:

    1. Tabel Hasil analisa sampel kulit sol sapi samak nabati dan perbandingan dengan SNI 06-0235-1989:

    NO

    JENIS ANALISA

    HASIL

    KETERANGAN

    1

    Kadar air

    14,10 %

    Memenuhi SNI

    2

    Kadar abu

    1,7683 %

    Memenuhi SNI

    3

    Analisa pH

    pH sebelum diencerkan: 3,56

    pH sesudah diencerkan: 4,705

    Selisih pH: 1,145

    Tidak memenuhi standar SNI

    4

    Analisa kadar minyak

    1,1389 %

    Memenuhi SNI

    5

    Analisa kadar zat terlarut

    24,64%

    Tidak memenuhi standar SNI

    6

    Analisa kadar abu tak larut

    1,33

    -

    7

    Analisa kadar nitrogen

    97,361 %

    -

    8

    Analisa derajat penyamak

    -488,38

    Error

    9

    Organleptis

    Nerf rusak

    Potongan tidak rata

    Sesuai standar SNI kulit


     

    1. Secara garis besar sampel kulit sol sapi samak yang kami analisa, tidak memenuhi kriteria SNI 06-0235-1989.


     


     


     

    DAFTAR PUSTAKA


     

    Hermiyati, Indri, 2009. Petunjuk Praktikum Analisa Kulit Tersamak. Akademi Teknologi Kulit: Yogyakarta.

    Sudardjo, Ir.Sumarmi dan Sumarni, Sri. 1984. Analisa Kulit dan Bahan Bagian I tahun 1984. Akademi Trknologi Kulit: Yogyakarta.


     


     


     

2 comments:

  1. makasih ya mas dika, saya lebih terbantu dengan artikel yang anda buat...

    ReplyDelete
  2. hmmm jadi teringat sama pak wazah

    ReplyDelete